Halo, sobat pembaca! Pernah nggak, sih, kamu lagi duduk manis di sebuah rapat penting, entah itu rapat kantor, rapat organisasi, atau bahkan sekadar rapat RT buat nentuin warna cat gapura 17-an. Kamu punya ide brilian. Ide yang kamu yakin seratus persen bakal menyelesaikan masalah, bikin semua orang senang, dan mungkin, cuma mungkin, bisa bikin kamu dianugerahi gelar ‘Pahlawan Rapat Abad Ini’. Kamu udah siapin argumen, data pendukung, bahkan mungkin udah latihan di depan cermin semalam suntuk.
Dengan napas tertahan dan semangat membara, kamu angkat tangan. “Permisi, Bapak, Ibu, saya punya usulan,” katamu dengan suara yang berusaha terdengar mantap. Kamu paparkan idemu dengan runut, logis, dan penuh gairah. Selesai. Kamu menatap sekeliling, mengharapkan tepuk tangan meriah atau setidaknya anggukan kepala penuh apresiasi. Tapi yang kamu dapat? Hening. Cuma suara jangkrik dan AC yang bunyinya udah kayak mesin diesel. Bosmu cuma bilang, “Hmm, oke, kita tampung dulu ya,” yang dalam bahasa korporat artinya “Idemu bagus, tapi kita akan lupakan dalam lima detik ke depan.”
Rasanya? Ambyar. Nyesek. Kayak udah ngetik skripsi seribu halaman, terus laptopnya kena virus dan lupa di-backup. Kamu merasa kecil, tidak terlihat, dan suaramu seolah tenggelam ditelan bumi. Nah, sekarang, coba bayangkan perasaan itu. Perasaan diabaikan, dianggap angin lalu, dianggap nggak penting. Lalu, kalikan perasaan itu dengan seribu, atau mungkin sepuluh ribu. Bayangkan bukan cuma kamu yang merasakannya, tapi seluruh tetanggamu, satu RW, satu kelurahan, atau bahkan satu kecamatan. Bayangkan bukan ide cat gapura yang diabaikan, tapi suara kalian tentang masa depan tanah tempat kalian lahir, tumbuh, dan mencari nafkah.
Selamat datang di drama kehidupan nyata yang seringkali lebih menegangkan daripada sinetron apa pun: pertarungan antara “Pembangunan” dan “Komunitas”. Sebuah kisah klasik di mana warga biasa seringkali diposisikan sebagai figuran di film tentang hidup mereka sendiri. Sementara para aktor utamanya adalah para investor berjas rapi, birokrat dengan tumpukan peta biru, dan buldoser-buldoser kuning yang siap meratakan kenangan.
Selamat Datang “Kemajuan”, Selamat Tinggal… Segalanya?
Ah, “pembangunan”. Sebuah kata sakti yang seringkali datang dengan brosur mengkilap dan janji-janji setinggi langit. Di atas kertas, semuanya terdengar indah. Akan ada mal megah, apartemen mewah, kawasan industri modern, atau jalan tol super lebar yang akan “meningkatkan taraf hidup” dan “membuka lapangan kerja”. Siapa yang tidak mau maju? Siapa yang menolak kemakmuran? Tentu saja tidak ada. Kita semua ingin hidup lebih baik.
Tapi, seringkali ada catatan kaki yang ditulis dengan tinta tak terlihat di bagian bawah brosur itu. Catatan kaki yang berbunyi: *Syarat dan ketentuan berlaku. Kemajuan ini mungkin akan mengorbankan sawah tempat bapakmu dulu mengajarimu menanam padi. Mungkin akan menggusur warung kopi langgananmu, satu-satunya tempat di mana gosip politik dan resep rahasia sambal terasi bisa dibahas dalam satu meja. Mungkin akan membuat sungai kecil di belakang rumahmu, tempat anak-anak berenang, berubah warna jadi cokelat pekat. Dan yang pasti, mungkin akan membuatmu merasa asing di tanah kelahiranmu sendiri.
Ini adalah ironi yang getir. Proyek-proyek raksasa ini seringkali dilabeli “Proyek Strategis Nasional” atau “Demi Kepentingan Umum”. Tapi pertanyaan yang jarang sekali dijawab dengan jujur adalah: Kepentingan umum yang mana? Apakah kepentingan umum itu sama dengan kepentingan segelintir orang yang bisa membeli griya tawang dengan pemandangan kota dari lantai 50? Ataukah kepentingan umum itu adalah hak Mbah Surip untuk tetap bisa menjemur kerupuk di depan rumahnya tanpa terganggu debu proyek 24 jam?
“Mereka datang membawa janji surga, tapi yang kami lihat di depan mata adalah neraka konstruksi. Bising, debu, macet. Mereka bilang ini untuk masa depan anak-cucu kami. Tapi, anak-cucu kami mau main di mana kalau lapangannya sudah jadi beton semua?”
Ini bukan sekadar keluhan manja. Ini adalah potret realita di banyak sudut negeri ini. Sebuah pola yang terus berulang. Pertama, muncul rumor. “Katanya tanah di ujung jalan mau dibeli perusahaan besar.” Kedua, datanglah orang-orang berseragam yang mengukur tanah, memasang patok, tanpa banyak bicara. Ketiga, sosialisasi—jika kita beruntung—yang lebih terasa seperti pengumuman satu arah daripada dialog. Isinya penuh dengan istilah teknis, analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang tebalnya ngalahin bantal tapi isinya entah dari planet mana, dan tentu saja, janji manis kompensasi yang seringkali tidak sepadan dengan hilangnya akar sejarah dan sosial.
Dalam skenario ini, komunitas lokal seringkali dianggap sebagai penghambat. Batu sandungan. Sekelompok orang kolot yang “anti-pembangunan” dan “tidak mau maju”. Padahal, yang mereka inginkan seringkali sederhana: didengarkan. Mereka tidak menolak perubahan seratus persen, tapi mereka ingin perubahan yang manusiawi. Pembangunan yang menghormati mereka, bukan yang melindas mereka.
Saat Suara Receh Berubah Menjadi Paduan Suara
Selama bertahun-tahun, narasi yang dominan adalah narasi ketidakberdayaan. Apa daya warga biasa melawan kekuatan modal dan kekuasaan? Suara kita ini ibarat koin receh yang dilempar ke dalam mesin raksasa yang terus berderu. Tak terdengar, tak berarti. Protes? Paling-paling hanya akan masuk koran lokal kolom kecil, lalu besoknya sudah dipakai buat bungkus gorengan.
Para pemangku kepentingan sepertinya sudah sangat hafal dengan siklus ini. Awalnya warga akan protes, lalu lama-lama mereka akan lelah sendiri. Terpecah belah. Beberapa tergiur dengan uang ganti rugi, yang lain memilih pindah dalam diam, sisanya terus berteriak tapi suaranya makin parau dan sepi. Mesin pembangunan pun akan terus melaju tanpa hambatan berarti.
Tapi, sepertinya, zaman sudah sedikit berubah. Mungkin karena media sosial yang membuat suara sumbang lebih mudah menggema. Mungkin karena generasi baru yang lebih melek hukum dan hak. Atau mungkin, sesederhana karena orang-orang sudah mencapai titik puncaknya. Titik di mana rasa lelah diubah menjadi energi perlawanan. Titik di mana kesadaran kolektif muncul: “Kalau kita diam, kita habis. Kalau kita bersatu, kita punya kesempatan.”
Di sinilah keajaiban seringkali terjadi. Ibu-ibu rumah tangga yang biasanya sibuk dengan urusan dapur, tiba-tiba menjadi organisator ulung. Bapak-bapak yang pendiam di pos ronda, mendadak jadi orator yang berapi-api. Anak-anak muda yang dicap individualis, ternyata paling jago merancang kampanye digital dan menggalang dukungan online. Grup WhatsApp yang tadinya hanya berisi ucapan selamat pagi dan gambar lucu, bertransformasi menjadi pusat komando strategi perlawanan.
Mereka mulai melakukan hal-hal yang tadinya dianggap mustahil. Mereka belajar membaca dokumen AMDAL yang rumit itu, mencari celah dan kejanggalan. Mereka mengumpulkan data sendiri, mendokumentasikan setiap pelanggaran di lapangan. Mereka menulis surat ke semua instansi yang bisa mereka pikirkan, dari kelurahan sampai istana negara. Mereka menggelar spanduk bukan hanya di depan lokasi proyek, tapi
